Pak SBY, kami warga di pesisir Sumbar, mati saja yang belum. Kalaulah  Bapak berkantor di Padang, takkan terpicingkan mata oleh bapak, meski  malam telah larut. Pak Gubernur kami, sekarang sudah kurus. Kemarin  bersama Waka Polda, Wagub, Walikota Padang, mengimbau rakyat untuk tidak  resah. Pejabat kami kurang tidur sekarang, Pak. Bagaimana bisa tidur,  di mana-mana rakyat ketakutan akan isu gempa besar. Sudahkah Bapak tahu  akan hal itu? Pak SBY yang terhormat... Maksud hati hendak membangun  jalan evakuasi, membangun shelter, mendinding laut, tapi kami tak punya  uang. Pemerintah pusat tak peduli. Kami tahu tak peduli, karena kata  Bappenas, tak ada dana pusat untuk membuat shelter di Sumbar. Akan Bapak  biarkan saja kami mati disapu tsunami, jika monster itu datang?   Sekarang Pak, tiap sebentar isu meruyak, lewat SMS, dari mulut ke mulut,  resume rapat interen pejabat pemerintah disebar PNS tak  bertanggungjawab. Kalau SMS terorisme, secepat kilat Densus 88 bergerak.  Dijemput malamnya orang. Tapi tiba di SMS teror gempa, kenapa tak bisa,  Pak? Kami seperti terhukum mati menunggu eksekusi. Ulama kami sudah  bertunas mulutnya memberi nasihat, tapi kami takut juga. Jiwa yang resah  adalah penyakit, sedang hati yang riang adalah obat.  Yang terjadi hati  kami diperparah oleh pakar. Tim Sembilan yang Bapak bentuk datang ke  Padang, hanya untuk bilang: “Itu gempa di Mentawai baru buntutnya, yang  akan kita tunggu bapaknya, ini bukan mempertakut, tapi harus  disampaikan,” katanya.  Tim ini, melibas urusan BMKG. Padahal negara  memercayakan kepada BMKG, namun Tim Sembilan lebih jago dan merasa  berkompeten. Maka takutlah seisi kota, takutlah seisi kampung, dari  ujung ke ujung. Setelah itu tim hebat tersebut pergi ke Jakarta, ke  pangkuan istri dan anak-anaknya. Ketika gempa datang, yang sibuk justru  BMKG. Pak SBY yang tercinta... Waktu pemilu 80 persen suara rakyat  Sumbar untuk Bapak, maka sewajarlah kini, ketika kami memerlukan  bantuan, Bapak bantu kami. Suratkabar Singgalang menawarkan, agar laut  Sumbar didinding. Biayanya takkan sampai Rp20 triliun. Sekali angguk  saja oleh Bapak, beres semua. Ini lebih penting dibanding Jembatan Selat  Sunda.  Dinding laut itu ada di Jepang, di Korea dan di sejumlah negara  lainnya. Bentuknya seperti Tembok Cina. Bisa untuk jalan di atasnya.  Kira-kira tingginya 10 sampai 15 meter. Panjangnya, orang PU yang bisa  mengukurnya Pak. Sekalian bisa untuk lokasi rekreasi, bahkan jalan tol  bisa dibuat di atasnya Pak. Bukankah Bapak akan membuat jalur lintas  barat Sumatra? Dinding laut itu saja jadikan jalan. Sekali merengkuh  dayung, dua tiga pulau terlampau.  Bisa Bapak bayangkan musibah tsunami  Aceh, untuk rehab rekon (RR)nya saja habis uang minimal Rp75 triliun.  Kerugian yang terjadi, empat kali lipatnya, barangkali. Akibat amuk alam  ini, tidak kurang dari 132 ribu orang Aceh meninggal dan 37 ribu orang  dinyatakan hilang.  Apalah artinya yang Rp20 triliun untuk mendinding  laut Pak. Atau habis dulu orang Minang oleh tsunami, baru kemudian  dibentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Sumbar.  Okelah, tak  ada uang untuk dinding laut, untuk shelter juga boleh. Padang memerlukan  setidaknya 100 shelter. Sebanyak itu pula di wilayah lain di Sumbar.  Tiap shelter Rp30 miliar. Kata Bappenas, tak ada dana untuk itu.  Disuruhnya pemerintah daerah “kreatif”. Itu sama dengan membunuh  namanya. Bagaimana perencanaan pembangunan, bisa melupakan mitigasi?  Lupa akan nasib rakyat, kecewa berat kami dengan Bappenas. Hentikanlah  agak sejenak membangun jalan tol di Pulau Jawa itu, alihkan uangnya  untuk Sumbar. Apakah untuk membangun shelter, escape building, dan jalan  evakuasi atau dinding laut. Pak SBY, jalan evakuasi saja di Padang  sudah tujuh tahun tak selesai. Uang untuk membebaskan tanah tak kunjung  cukup. Kasihlah kami uang untuk pembebasan jalan itu saja dulu, sudah  besar hati kami, Pak. Ini kan tidak, selalu saja jawabannya klise,  “pusat tak ada uang untuk pembebasan tanah”.  Kalau untuk proyek biasa,  bisa diterima, tapi untuk proyek kemanusiaan, apa tidak bisa pusat turun  tangan? Kadang kami di Sumbar merasa jauh dan sepi sendiri. Kenapa  pemerintah pusat tak peduli lagi pada kami. Sedih hati kami di sini.   Mohon temani kami dalam masa-masa sulit ini Pak. Kami sedang gamang.  Hanya kepada Tuhan kami bisa mengadu, berdoa, berserah diri. Kalau Bapak  mau membantu, kami tawarkan tujuh hal untuk meminimalkan dampak tsunami  di Sumbar. Ketujuhnya dinding laut, relokasi penuh warga pesisir  Sumbar, relokasi zone merah saja, buat shelter, buat ecape building,  jalur evakuasi, tanam trembesi dan bakau di pantai atau reklamasi.  Sampai hari ini, hanya satu yang sudah ada yaitu satu unit shelter yaitu  SMA 1 Padang. Itupun bantuan Yayasan Budhi Suci, bukan uang pemerintah.  Pemerintah daerah takkan bisa berbuat apa-apa, kalau pusat tak  membantu. Penyakitnya Pak, kementerian dan Bappenas, kalau tak dilobi,  tak dihiraukannya nasib rakyat. Apa perlu lagi lobi-lobi semacam itu,  sementara kami sedang gundah gulana? Jika Bapak memerlukan sepucuk surat  yang ditandatangani seluruh rakyat, kami siap membuatnya.  Kami tak  takut mati Pak, sebab ajal sudah tersurat di Arasy. Mati hari ini, pasti  mati. Tapi, bukankah kita perlu berikhtiar? Apalagi rakyat Sumbar  adalah bagian integral dari Indonesia.  Pak SBY yang terhormat... Jujur  saja, bangsa yang besar ini, berhutang sejarah pada kami orang Minang.  Kami tak minta dibayar, tapi berbuat baiklah pada saat yang tepat.  Saatnya sekarang. Kalau pada 2011 hanya rapat ke rapat saja, janji ke  janji saja, maka kami akan menjadi rakyat yang patah arang.  Pak SBY...  Maafkan saya yang sudah lancang menulis seperti ini. Apa boleh buat  ditangkap intel pun sudah risiko saya. Tak ada pilihan lain, Bapak harus  turun tangan.  Ah, jika saja Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Yamin, Agus  Salim, masih hidup, mungkin nasib kami takkan semalang sekarang. Hari  ini pasti dipanggilnya Bapak ke rumahnya.  “Tolong kampuang kami ya, Pak  Presiden,” kata Hatta, suara beliau antara terdengar dan tidak. “Tolong  itu Sumbar, lumbungnya demokrasi,” kata Sjahrir. “Demi rakyat jelata  yang menderita setiap hari, bantu Ranah Minang,” kata Datuk Tan Malaka.  “Minangkabau adalah libero dalam pembentukan Negara Kesatuan RI, bantu  sekarang, rakyatnya sedang nestapa,” kata Pak Yamin. “Belum bersekolah  orang di tempat lain, orang Minang sudah studi ke Belanda, buat sekolah  jadikan shelter,” kata Agus Salim. Tapi tidak. Beliau telah tiada. Kami  sepi sendiri Pak Presiden SBY.  Wassalam. (*)
Singgalang, 27 Nov 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar